• RSS
  • Facebook
  • Twitter
Comments

Pengertian Amputasi


Amputasi berasal dari kata “amputare” yang kurang lebih diartikan “pancung”.

Amputasi dapat diartikan sebagai tindakan memisahkan bagian tubuh sebagian atau seluruh bagian ekstremitas. Tindakan ini merupakan tindakan yang dilakukan dalam kondisi pilihan terakhir manakala masalah organ yang terjadi pada ekstremitas sudah tidak mungkin dapat diperbaiki dengan menggunakan teknik lain, atau manakala kondisi organ dapat membahayakan keselamatan tubuh klien secara utuh atau merusak organ tubuh yang lain seperti dapat menimbulkan komplikasi infeksi.



Kegiatan amputasi merupakan tindakan yang melibatkan beberapa sistem tubuh seperti sistem integumen, sistem persyarafan, sistem muskuloskeletal dan sisten cardiovaskuler. Labih lanjut ia dapat menimbulkan madsalah psikologis bagi klien atau keluarga berupa penurunan citra diri dan penurunan produktifitas.
Penyebab / faktor predisposisi terjadinya amputasi

Tindakan amputasi dapat dilakukan pada kondisi :


1. Fraktur multiple organ tubuh yang tidak mungkin dapat diperbaiki.


2. Kehancuran jaringan kulit yang tidak mungkin diperbaiki.


3. Gangguan vaskuler/sirkulasi pada ekstremitas yang berat.


4. Infeksi yang berat atau beresiko tinggi menyebar ke anggota tubuh lainnya.


5. Adanya tumor pada organ yang tidak mungkin diterapi secara konservatif.


6. Deformitas organ.

Jenis Amputasi

Berdasarkan pelaksanaan amputasi, dibedakan menjadi :
1.      amputasi selektif/terencana
Amputasi jenis ini dilakukan pada penyakit yang terdiagnosis dan mendapat penanganan yang baik serta terpantau secara terus-menerus. Amputasi dilakukan sebagai salah satu tindakan alternatif terakhir
2.      amputasi akibat trauma
Merupakan amputasi yang terjadi sebagai akibat trauma dan tidak direncanakan. Kegiatan tim kesehatan adalah memperbaiki kondisi lokasi amputasi serta memperbaiki kondisi umum klien.
3.      amputasi darurat
Kegiatan amputasi dilakukan secara darurat oleh tim kesehatan. Biasanya merupakan tindakan yang memerlukan kerja yang cepat seperti pada trauma dengan patah tulang multiple dan kerusakan/kehilangan kulit yang luas.
Jenis amputasi yang dikenal adalah :
1.      amputasi terbuka
2.       amputasi tertutup.
 Amputasi terbuka dilakukan pada kondisi infeksi yang berat dimana pemotongan pada tulang dan otot pada tingkat yang sama. Amputasi tertutup dilakukan dalam kondisi yang lebih memungkinkan dimana dibuat skaif kulit untuk menutup luka yang dibuat dengan memotong kurang lebih 5 sentimeter dibawah potongan otot dan tulang.
Setelah dilakukan tindakan pemotongan, maka kegiatan selanjutnya meliputi perawatan luka operasi/mencegah terjadinya infeksi, menjaga kekuatan otot/mencegah kontraktur, mempertahankan intaks jaringan, dan persiapan untuk penggunaan protese ( mungkin ).
Berdasarkan pada gambaran prosedur tindakan pada klien yang mengalami amputasi maka perawat memberikan asuhan keperawatan pada klien sesuai dengan kompetensinya.

Manajemen Keperawatan

Kegiatan keperawatan yang dilakukan pada klien dapat dibagi dalam tiga tahap yaitu pada tahap preoperatif, tahap intraoperatif, dan pada tahap postoperatif.
a.      Pre Operatif
Pada tahap praoperatif, tindakan keperawatan lebih ditekankan pada upaya untuk mempersiapkan kondisi fisik dan psikolgis klien dalam menghadapi kegiatan operasi.
Pada tahap ini, perawat melakukan pengkajian yang erkaitan dengan kondisi fisik, khususnya yang berkaitan erat dengan kesiapan tubuh untuk menjalani operasi.

Pengkajian Riwayat Kesehatan

Perawat memfokuskan pada riwayat penyakit terdahulu yang mungkin dapat mempengaruhi resiko pembedahan seperti adanya penyakit diabetes mellitus, penyakit jantung, penyakit ginjal dan penyakit paru. Perawat juga mengkaji riwayat penggunaan rokok dan obat-obatan.

Pengkajian Fisik

Pengkajian fisik dilaksanakan untuk meninjau secara umum kondisi tubuh klien secara utuh untuk kesiapan dilaksanakannya tindakan operasi manakala tindakan amputasi merupakan tindakan terencana/selektif, dan untuk mempersiapkan kondisi tubuh sebaik mungkin manakala merupakan trauma/ tindakan darurat.
Kondisi fisik yang harus dikaji meliputi  :
SISTEM TUBUH
KEGIATAN
Integumen :
Kulit secara umum.
Lokasi amputasi
Mengkaji kondisi umum kulit untuk meninjau tingkat hidrasi.
Lokasi amputasi mungkin mengalami keradangan akut atau kondisi semakin buruk, perdarahan atau kerusakan progesif. Kaji kondisi jaringan diatas lokasi amputasi terhadap terjadinya stasis vena atau gangguan venus return.
Sistem Cardiovaskuler :
Cardiac reserve
Pembuluh darah
Mengkaji tingkat aktivitas harian yang dapat dilakukan pada klien sebelum operasi sebagai salah satu indikator fungsi jantung.
Mengkaji kemungkinan atherosklerosis melalui penilaian terhadap elastisitas pembuluh darah.
Sistem Respirasi
Mengkaji kemampuan suplai oksigen dengan menilai adanya sianosis, riwayat gangguan nafas.
Sistem Urinari
Mengkaji jumlah urine 24 jam.
Menkaji adanya perubahan warna, BJ urine.
Cairan dan elektrolit
Mengkaji tingkat hidrasi.
Memonitor intake dan output cairan.
Sistem Neurologis
Mengkaji tingkat kesadaran klien.
Mengkaji sistem persyarafan, khususnya sistem motorik dan sensorik daerah yang akan diamputasi.
Sistem Mukuloskeletal
Mengkaji kemampuan otot kontralateral.

Pengkajian Psikologis, Sosial, Spiritual
Disamping pengkajian secara fisik perawat melakukan pengkajian pada kondisi psikologis ( respon emosi ) klien yaitu adanya kemungkinan terjadi kecemasan pada klien melalui penilaian klien terhadap amputasi yang akan dilakukan, penerimaan klien pada amputasi dan dampak amputasi terhadap gaya hidup. Kaji juga tingkat kecemasan akibat operasi itu sendiri. Disamping itu juga dilakukan pengkajian yang mengarah pada antisipasi terhadap nyeri yang mungkin timbul.
Perawat melakukan pengkajian pada gambaran diri klien dengan memperhatikan tingkatr persepsi klien terhadap dirinya, menilai gambaran ideal diri klien dengan meninjau persepsi klien terhadap perilaku yang telah dilaksanakan dan dibandingkan dengan standar yang dibuat oleh klien sendiri, pandangan klien terhadap rendah diri antisipasif, gangguan penampilan peran dan gangguan identitas.
Adanya gangguan konsep diri antisipasif harus diperhatikan secara seksama dan bersama-sama dengan klien melakukan pemilihan tujuan tindakan dan pemilihan koping konstruktif.
Adanya masalah kesehatan yang timbul secara umum seperti terjadinya gangguan fungsi jantung dan sebagainya perlu didiskusikan dengan klien setelah klien benar-benar siap untuk menjalani operasi amputasi itu sendiri. Kesadaran yang penuh pada diri klien untuk berusaha berbuat yang terbaik bagi kesehatan dirinya, sehingga memungkinkan bagi perawat untuk melakukan tindakan intervensi dalam mengatasi masalah umum pada saat pre operatif. Asuhan keperawatan pada klien preoperatif secara umum tidak dibahas pada makalah ini.
Laboratorik
Tindakan pengkajian dilakukan juga dengan penilaian secara laboratorik atau melalui pemeriksaan penunjang lain secara rutin dilakukan pada klien yang akan dioperasi yang meliputi penilaian terhadap fungsi paru, fungsi ginjal, fungsi hepar dan fungsi jantung.
Diagnosa Keperawatan dan Perencanaan
Dari pengkajian yang telah dilakukan, maka diagnosa keperawatan yang dapat timbul antara lain :
  1. Kecemasan berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang kegiatan perioperatif.
Karakteristik penentu :
-          Mengungkapkan rasa tajut akan pembedahan.
-          Menyatakan kurang pemahaman.
-          Meminta informasi.
Tujuan : Kecemasan pada klien berkurang.
Kriteria evaluasi :
-          Sedikit melaporkan tentang gugup atau cemas.
-          Mengungkapkan pemahaman tentang operasi.
INTERVENSI
RASIONAL
Memberikan bantuan secara fisik dan psikologis, memberikan dukungan moral.

Menerangkan prosedur operasi dengan sebaik-baiknya.

Mengatur waktu khusus dengan klien untuk berdiskusi tentang kecemasan klien.
Secara psikologis meningkatkan rasa aman dan meningkatkan rasa saling percaya.

Meningkatkan/memperbaiki pengetahuan/ persepsi klien.

Meningkatkan rasa aman dan memungkinkan klien melakukan komunikasi secara lebih terbuka dan lebih akurat.

  1. Berduka yang  antisipasi (anticipated griefing) berhubungan dengan kehilangan akibat amputasi.
Karakteristik penentu :
-          Mengungkapkan rasa takut kehilangan kemandirian.
-          Takut kecacatan.
-          Rendah diri, menarik diri.
Tujuan : Klien mampu mendemontrasikan kesadaran akan dampak pembedahan pada citra diri.
Kriteria evaluasi :
-          mengungkapkan perasaan bebas, tidak takut.
-          Menyatakan perlunya membuat penilaian akan gaya hidup yangbaru.
INTERVENSI
RASIONAL
Anjurkan klien untuk mengekspresikan perasaan tentang dampak pembedahan pada gaya hidup.

Berikan informasi yang adekuat dan rasional tentang alasan pemilihan tindakan pemilihan amputasi.

Berikan informasi bahwa amputasi merupakan tindakan untuk memperbaiki kondisi klien dan merupakan langkah awal untuk menghindari ketidakmampuan atau kondisi yang lebih parah.

Fasilitasi untuk bertemu dengan orang dengan amputasi yang telah berhasil dalam penerimaan terhadap situasi amputasi.
Mengurangi rasa tertekan dalam diri klien, menghindarkan depresi, meningkatkan dukungan mental.

Membantu klien mengapai penerimaan terhadap kondisinya melalui teknik rasionalisasi.

Meningkatkan dukungan mental.






Strategi untuk meningkatkan adaptasi terhadap perubahan citra diri.

Selain masalah diatas, maka terdapat beberapa tindakan keperawatan preoperatif antara lain :
þ Mengatasi nyeri
-     Menganjurkan klien untuk menggunakan teknik dalam mengatsi nyeri.
-     Menginformasikan tersdianya obat untuk mengatasi nyeri.
-     Menerangkan pada klien bahwa klien akan “merasakan” adanya kaki untuk beberapa waktu lamanya, sensasi ini membantu dalam menggunakan kaki protese atau ketika belajar mengenakan kaki protese.
þ Mengupayakan pengubahan posisi tubuh efektif
-     Menganjurkan klien untuk mengubah posisi sendiri setiap 1 – 2 jam untuk mencegah kontraktur.
-     Membantu klien mempertahankan kekuatan otot kaki ( yang sehat ), perut dan dada sebagai persiapan untuk penggunaan alat penyangga/kruk.
-     Mengajarkan klien untuk menggunakan alat bantu ambulasi preoperasi, untuk membantu meningkatkan kemampuan mobilitas posoperasi, memprtahankan fungsi dan kemampuan dari organ tubuh lain.
þ Mempersiapkan kebutuhan untuk penyembuhan
-       Mengklarifikasi rencana pembedahan yang akan dilaksanakan kepada tim bedah.
-       Meyakinkan bahwa klien mendapatkan protese/alat bantu  ( karena tidak semua klien yang mengalami operasi amputasi mendapatkan protese seperti pada penyakit DM, penyakit jantung, CVA, infeksi, dan penyakit vaskuler perifer, luka yang terbuka ).
-       Semangati klien dalam persiapan mental dan fisik dalam penggunaan protese.
-       Ajarkan tindakan-tindakan rutin postoperatif : batuk, nafas dalam.

b.      Intra Operatif
Pada masa ini perawat berusaha untuk tetap mempertahankan kondisi terbaik klie. Tujuan utama dari manajemen (asuhan) perawatan saat ini adalah untuk menciptakan kondisi opyimal klien dan menghindari komplikasi pembedahan.
Perawat berperan untuk tetap mempertahankan kondisi hidrasi cairan, pemasukan oksigen yang adekuat dan mempertahankan kepatenan jalan nafas, pencegahan injuri selama operasi dan dimasa pemulihan kesadaran. Khusus untuktindakan perawatan luka, perawat membuat catatan tentang prosedur operasi yang dilakukan dan kondisi luka, posisi jahitan dan pemasangan drainage. Hal ini berguna untuk perawatan luka selanjutnya dimasa postoperatif.
Makalah ini tidak membahas secara detail kegiatan intraoperasi.

c.       Post Operatif
Pada masa post operatif, perawat harus berusaha untuk mempertahankan tanda-tanda vital, karena pada amputasi, khususnya amputasi ekstremitas bawah diatas lutut merupakan tindakan yang mengancam jiwa.
Perawat melakukan pengkajian tanda-tanda vital selama klien belum sadar secara rutin dan tetap mempertahankan kepatenan jalas nafas, mempertahankan oksigenisasi jaringan, memenuhi kebutuhan cairan darah yang hilang selama operasi dan mencegah injuri.
Daerah luka diperhatikan secara khusus untuk mengidentifikasi adanya perdarahan masif atau kemungkinan balutan yang basah, terlepas atau terlalu ketat. Selang drainase benar-benar tertutup. Kaji kemungkinan saluran drain tersumbat oleh clot darah.
Awal masa postoperatif, perawat lebih memfokuskan tindakan perawatan secara umum yaitu menstabilkan kondisi klien dan mempertahankan kondisi optimum klien.
Perawat bertanggungjawab dalam pemenuhan kebutuhan dasar klien, khususnya yang dapat menyebabkan gangguan atau mengancam kehidupan klien.
Berikutnya fokus perawatan lebih ditekankan pada peningkatan kemampuan klien untuk membentuk pola hidup yang baru serta mempercepat penyembuhan luka. Tindakan keperawatan yang lain adalah mengatasi adanya nyeri yang dapat timbul pada klien seperti nyeri Panthom Limb dimana klien merasakan seolah-olah nyeri terjadi pada daerah yang sudah hilang akibat amputasi. Kondisi ini dapat menimbulkan adanya depresi pada klien karena membuat klien seolah-olah merasa ‘tidak sehat akal’ karena merasakan nyeri pada daerah yang sudah hilang. Dalam masalah ini perawat harus membantu klien mengidentifikasi nyeri dan menyatakan bahwa apa yang dirasakan oleh klien benar adanya.
Diagnosa keperawatan yang dapat ditegakkan antara lain adalah :
  1. Gangguan rasa nyaman : Nyeri berhubungan dengan insisi bedah sekunder terhadap amputasi
Karakteristik penentu :
-          Menyatakan nyeri.
-          Merintih, meringis.
Tujuan : nyeri hilang / berkurang.
Kriteria evaluasi :
-          Menyatakan nyeri hilang.
-          Ekspresi wajah rileks.
INTERVENSI
RASIONAL
Evaluasi nyeri : berasal dari sensasi panthom limb atau dari luka insisi. Bila terjadi nyeri panthom limb



Beri analgesik ( kolaboratif ).

Ajarkan klien memberikan tekanan lembut dengan menempatkan puntung pada handuk dan menarik handuk dengan berlahan.
Sensasi panthom limb memerlukan waktu yang lama untuk sembuh daripada nyeri akibat insisi.
Klien sering bingung membedakan nyeri insisi dengan nyeri panthom limb.

Untuk menghilangkan nyeri

Mengurangi nyeri akibat nyeri panthom limb

  1. Gangguan konsep diri berhubungan dengan perubahan citra tubuh sekunder terhadap amputasi
Karakteristik penentu :
-          Menyatakan berduka tentang kehilangan bagian tubuh.
-          Mengungkapkan negatif tentang tubuhnya.
-          Depresi.
Tujuan : Mendemontrasikan penerimaan diri pada situasi yang baru.
Kriteria evaluasi :
-          Menyatakan penerimaan terhadap penerimaan diri.
-          Membuat rencana untuk melanjutkan gaya hidup.
INTERVENSI
RASIONAL
Validasi masalah yang dialami klien.

Libatkan klien dalam melakukan perawatan diri yang langsung menggunakan putung :
-          Perawatan luka.
-          Mandi.
-          Menggunakan pakaian.

Berikan dukungan moral.

Hadirkan orang yang pernah amputasi yang telah menerima diri.
Meninjau perkembangan klien.

Mendorong antisipasi meningkatkan adaptasi pada perubahan citra tubuh.





Meningkatkan status mental klien.

Memfasilitasi penerimaan terhadap diri.

  1. Resiko tinggi terhadap komplikasi : Infeksi, hemorragi, kontraktur, emboli lemak berhubungan dengan amputasi
Karakteristik penentu :
-          Terdapat tanda resiko infeksi, perdarahan berlebih, atau emboli lemak.
Tujuan : tidak terjadi komplikasi.
Kriteria evaluasi : tidak ada infeksi, hemorragi dan emboli lemak.
INTERVENSI
RASIONAL

Infeksi

Lakukan perawatan luka adekuat.

Mencegah terjadinya infeksi.

Perdarahan

Pantau :
-Masukan dan pengeluaran cairan.

- Tanda-tanda vital tiap 4 jam.

- Kondisi balutan tiap 4-8 jam.
-           

Menghindari resiko kehilangan cairan dan resiko terjadinya perdarahan pada daerah amputasi.

Sebagai monitor status hemodinamik


Indikator adanya perdaraham masif

Emboli lemak

Monitor pernafasan.


Persiapkan oksigen



Pertahankan posisi flower atau tetap tirah baring selama beberapa waktu

Memantau tanda emboli lemak sedini mungkin


Untuk mempercepat tindakan bila sewaktu-waktu dperlukan untuk tindakan yang cepat.

Mengurangi kebutuhan oksigen jaringan atau memudahkan pernafasan.

Beberapa kegiatan keperawatan lain yang dilakukan adalah :
þ Melakukan perawatan luka postoperasi
-     Mengganti balutan dan melakukan inspeksi luka.
-     Terangkan bahwa balutan mungkin akan digunakan hingga protese yang digunakan telah tepat dengan kondisi daerah amputasi (6 bulan –1 tahun).
þ Membantu klien beradaptasi dengan perubahan citra diri
-     Memberi dukungan psikologis.
-     Memulai melakukan perawatan diri atau aktivitas dengan kondisi saat ini.
þ Mencegah kontraktur
-     Menganjurkan klien untuk melakukan gerakan aktif pada daerah amputasi segera setelah pembatasan gerak tidak diberlakukan lagi.
-     Menerangkan bahwa gerakan pada organ yang diamputasi berguna untuk meningkatkan kekuatan untuk penggunaan protese, menghindari terjadinya kontraktur.
þ Aktivitas perawatan diri
-     Diskusikan ketersediaan protese ( dengan terapis fisik, ortotis ).
-     Mengajari klien cara menggunakan dan melepas protese.
-     Menyatakan bahwa klien idealnya mencari bantuan/superfisi dari tim rehabilitasi kesehatan selama penggunaan protese.
-     Mendemontrasikan alat-alat bantu khusus.
-     Mengajarkan cara mengkaji adanya gangguan kulit akibat penggunaan protese.

Kesimpulan

Asuhan keperawatan pada klien yang mengalami amputasi merupakan bentuk asuhan kompleks yang melibatkan aspek biologis, spiritual dan sosial dalam proporsi yang cukup besar ke seluruh aspek tersebut perlu benar-benar diperhatikan sebaik-baiknya.
Tindakan amputasi merupakan bentuk operasi dengan resiko yang cukup besar bagi klien sehingga asuhan keperawatan perioperatif harus benar-benar adekuat untuk memcapai tingkat homeostatis maksimal tubuh. Manajemen keperawatan harus benar-benar ditegagkkan untuk membantu klien mencapai tingkat optimal dalam menghadapi perubahan fisik dan psikologis akibat amputasi.(anas)

REFERENSI
Engram, Barbara ( 1999 ), Rencana Asuhan Keperawatan Medikal – Bedah, edisi Indonesia, EGC, Jakarta.
Brunner, Lillian S; Suddarth, Doris S ( 1986 ), Manual of Nursing Practice, 4th edition, J.B. Lippincott Co. Philadelphia.
Kozier, erb; Oliveri ( 1991 ), Fundamentals of Nursing, Concepts, Process and Practice, Addison-Wesley Co. California.
Reksoprodjo, S; dkk ( 1995 ), Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, Bina Rupa Aksara, Jakarta.
[...]

Categories:
Comments

A. PENGERTIAN



Sifilis adalah penyakit menular seksual yang disebabkan oleh Treponema pallidum. Penyakit menular seksual adalah penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual. Penyakit ini sangat kronik, bersifat sistemik dan menyerang hampir semua alat tubuh.


B. ETIOLOGI

Penyebab penyakit ini adalah Treponema pallidum yang termasuk ordo spirochaetales, familia spirochaetaceae, dan genus treponema. Bentuk spiral, panjang antara 6 – 15 µm, lebar 0,15 µm. Gerakan rotasi dan maju seperti gerakan membuka botol. Berkembang biak secara pembelahan melintang, pembelahan terjadi setiap 30 jam pada stadium aktif.



C. EPIDEMIOLOGI

Asal penyakit tidak jelas. Sebelum tahun 1492 belum dikenal di Eropa. Pada tahun 1494 terjadi epidemi di Napoli. Pada abad ke-18 baru diketahui bahwa penularan sifilis melelui hubungan seksual. Pada abad ke-15 terjadiwabah di Eropa. Sesudah tahun 1860, morbilitas sifilis menurun cepat. Selama perang dunia II, kejadian sifilis meningkat dan puncaknya pada tahun 1946, kemudian menurun setelah itu.

Kasus sifilis di Indonesia adalah 0,61%. Penderita yang terbanyak adalah stadium laten, disusul sifilis stadium I yang jarang, dan yang langka ialah sifilis stadium II.


D. PATOFISIOLOGI
  1. Stadium Dini



    Pada sifilis yang didapat, Treponema pallidum masuk ke dalam kulit melalui mikrolesi atau selaput lendir, biasanya melalui senggama. Kuman tersebut berkembang biak, jaringan bereaksi dengan membentuk infiltrat yang terdiri atas sel-sel limfosit dan sel-sel plasma, terutama di perivaskuler, pembuluh-pembuluh darah kecil berproliferasi dikelilingi oleh Treponema pallidum dan sel-sel radang. Enarteritis pembuluh darah kecil menyebabkan perubahan hipertrofi endotelium yang menimbulkan obliterasi lumen (enarteritis obliterans). Pada pemeriksaan klinis tampak sebagai S I. Sebelum S I terlihat, kuman telah mencapai kelenjar getah bening regional secara limfogen dan berkembang biak, terjadi penjalaran hematogen yang menyebar ke seluruh jaringan tubuh. Multiplikasi diikuti oleh reaksi jaringan sebagai S II yang terjadi 6-8 minggu setelah S I. S I akan sembuh perlahan-lahan karena kuman di tempat tersebut berkurang jumlahnya. Terbentuklah fibroblas-fibroblas dan akhirnya sembuh berupa sikatrik. S II juga mengalami regresi perlahan-lahan lalu menghilang. Timbul stadium laten. Jika infeksi T.pallidum gagal diatasi oleh proses imunitas tubuh, kuman akan berkembang biak lagi dan menimbulkan lesi rekuren. Lesi dapat timbul berulang-ulang.

  2. Stadium Lanjut



    Stadium laten berlangsung bertahun-tahun karena treponema dalam keadaan dorman. Treponema mencapai sistem kardiovaskuler dan sistem saraf pada waktu dini, tetapi kerusakan perlahan-lahan sehingga memerlukan waktu bertahun-tahun untuk menimbulkan gejala klinis. Kira-kira dua pertiga kasus dengan stadium laten tidak memberi gejala.


E. KLASIFIKASI

Sifilis dibagi menjadi sifilis kongenital dan sifilis akuisital (didapat). Sifilis kongenital dibagi menjadi sifilis dini (sebelum dua tahun), lanjut (setelah dua tahun), dan stigmata. Sifillis akuisita dapat dibagi menurut dua cara yaitu:
  • Klinis (stadium I/SI, stadium II/SII, stadium III/SIII)
  • Epidemiologik, menurut WHO dibagi menjadi:

    • Stadium dini menular (dalam satu tahun sejak infeksi), terdiri atas S I, S II, stadium rekuren, dan stadium laten dini.
    • Stadium lanjut tak menular (setelah satu tahun sejak infeksi), terdiri atas stadium laten lanjut dan S III.



F. GEJALA KLINIS

Sifilis Akuisita
  1. Sifilis Dini

    • Sifilis Primer (S I)
    • Sifilis Sekunder (S II)


  2. Sifilis Lanjut


G. PENCEGAHAN

Banyak hal yang dapat dilakukan untuk mencegah seseorang agar tidak tertular penyakit sifilis. Hal-hal yang dapat dilakukan antara lain :
  • Tidak berganti-ganti pasangan
  • Berhubungan seksual yang aman: selektif memilih pasangan dan pempratikkan ‘protective sex’.
  • Menghindari penggunaan jarum suntik yang tidak steril dan transfusi darah yang sudah terinfeksi.


H. PENATALAKSANAAN
Penderita sifilis diberi antibiotik penisilin (paling efektif). Bagi yang alergi penisillin diberikan tetrasiklin 4×500 mg/hr, atau eritromisin 4×500 mg/hr, atau doksisiklin 2×100 mg/hr. Lama pengobatan 15 hari bagi S I & S II dan 30 hari untuk stadium laten. Eritromisin diberikan bagi ibu hamil, efektifitas meragukan. Doksisiklin memiliki tingkat absorbsi lebih baik dari tetrasiklin yaitu 90-100%, sedangkan tetrasiklin hanya 60-80%.

Obat lain adalah golongan sefalosporin, misalnya sefaleksin 4×500 mg/hr selama 15 hari, Sefaloridin memberi hasil baik pada sifilis dini, Azitromisin dapat digunakan untuk S I dan S II.

I. PROGNOSIS
Prognosis sifilis menjadi lebih baik setelah ditemukannya penisilin. Jika penisilin tidak diobati, maka hampir seperempatnya akan kambuh, 5% akan mendapat S III, 10% mengalami sifilis kardiovaskuler, neurosifilis, dan 23% akan meninggal.

Pada sifilis dini yang diobati, angka penyembuhan mencapai 95%. Kelainan kulit akan sembuh dalam 7-14 hari. Pembesaran kelenjar getah bening akan menetap berminggu-minggu.

Kegagalan terapi sebanyak 5% pada S I dan S II. Kambuh klinis umumnya terjadi setahun setelah terapi berupa lesi menular pada mulut, tenggorokan, dan regio perianal. Selain itu, terdapat kambuh serologik.

Pada sifilis laten lanjut, prognosis baik. Pada sifilis kardiovaskuler, prognosis sukar ditentukan. Prognosis pada neurosifilis bergantung pada tempat dan derajat kerusakan.

Sel saraf yang sudah rusak bersifat irreversible. Prognosis neurosifilis pada sifilis dini baik, angka penyembuhan dapat mencapai 100%. Neurosifilis asimtomatik pada stadium lanjut juga baik, kurang dari 1% memerlukan terapi ulang

Prognosis sifilis kongenital dini baik. Pada yang lanjut, prognosis tergantung pada kerusakan yang sudah ada.
[...]

Categories:
Comments

A. Deskripsi

Prevalensi luka bakar di AS = 2,5 juta / tahun.
12 000 orang meninggal krn luka bakar dan cedera inhalasi akibat luka bakar.
Populasi yang beresiko terhadap luka bakar:
¨ Anak-anak dan usia lanjut.
¨ Remaja laki-laki dan pria usia kerja.
Kejadian luka bakar sering didapat di rumah.
Kegiatan yang memberikan resiko luka bakar:
· Memasak
· Memanaskan atau menggunakan alat-alat listrik.
· Kecelakaan industri.
75 % kejadian luka bakar di AS merupakan akibat perbuatan sendiri:
§ Tersiram air mendidih pada anak-anak yang baru belajar jalan.
§ Bermain korek api pada anak usia sekolah.
§ Cedera karena arus listrik pada remaja laki-laki.
§
Prediksi Keberhasilan hidupPenggunaan obat bius, alkohol serta sigaret pda orang dewasa.

Prognosa ( prediksi keberhasilan hidup) dipengaruhi oleh:
1. Usia.
- Orang berusia sangat muda dan tua memiliki resiko mortalitas lebih tinggi.
- Anak-anak diatas 5 th dan dewasa muda kurang dari 40 th mempunyai peluang hidup lebih besar.
2. Dalam dan luasnya luka bakar.
3. Ada tidaknya cedera inhalasi yang menyertai.

Tujuan utama berhubungan dengan luka bakar;
1. Pencegahan.
2. Menyelamatkan jiwa pasien.
3. Pencegahan ketidakmampuan dan kecacatan.
4. Pemulihan atau rehabilitasi.

B. Patofisiologi
Luka bakar disebabkan oleh: pengalihan energi dari sumber panas ke tubuh.
Pemindahan panas melalui:
· Hantaran
· Radiasi elektromgnetik.
Klasifikasi luka bakar:
1. Luka bakar termal.
2. Luka bakar radiasi.
3. Luka bakar kimia.

Akibat primer luka bakar : terjadi destruksi jaringan.
Destruksi jaringan terjadi karena:
1. Koagulasi
2. Denaturasi protein.
3. Ionisasi isi sel.
Lokasi destruksi jaringan:
1. Kulit
2. Mukosa saluran nafas atas.
3. Organ viseral ( krn: luka bakar elektrik dan kontak dengan agen penyebab yang lama) akibat lanjut: nekrosis dan kegagalan organ.

Dalamnya luka bakar ditentukan oleh:
1. Suhu agen penyebab luka bakar.
2. Lamanya kontak dengan agen penyebab luka bakar.

q Respon patofisiologi terhadap luka bakar.
1. Respon sistemik.
2. Respon lokal.
Respon sistemik


Respon maksimal dari luka bakar akan terlihat bila 60% permukaan tubuh.
Kejadian sistemik awal sesudah luka bakar berupa: ketidakstabilan hemodinamik ( perpindahan cairan, natrium serta protein dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial akibat hilangnya integritas kapiler) akibatnya terjadi: penurunan curah jantung , selanjutnya mengakibatkan: hipoperfusi dan hipofungsi organ.

Ketidakstabilan hemodinamik melibatkan mekanisme:
1. Kardiovaskuler.
2. Keseimbangan cairan dan elektrolit serta volume darah.
3. Mekanisme pulmoner.
4. Fungsi renal.
5. Pertahanan imunologik.
6. Pengaturan suhu.
7. Gastrointestinal.

v Fungsi kardiovaskuler.
Trauma panas destruksi jaringan ( kerusakan integritas kapiler) perpindahan cairan, natrimu dan protein dari intravaskuler ke interstitial
Volume vaskuler menurun CO turun TD turun
Hipoperfusi dan hipofungsi organ. (Awitan syok luka bakar ).
Respon saraf simpatis, melepaskan katekolamin, akan meningkatkan: resistensi perifer (vasokonstriksi) dan frekuensi denyut nadi.
Kebocoran cairan terbesar: 24 - 36 jam pertama.
Penetalaksanaan utama: resusitasi cairan.
Resusitasi cairan yang adekuat dan pemulihan integritas kepiler menyebabkan syok luka bakar teratai dan cairan kembali ke intravaskuler sehingga volume darah adekuat dan curah jantung kembali normal.
Sindrom kompartemen ( Compartement Syndrome ) adalah: obstruksi aliran darah samapi mengakibatkan terjadinya keadaan iskemia yang disebabkan oleh oedema sistemik yang masif, tekanan terhadap pembuluh darah kecil dan saraf pada ekstrimitas distal.

v Keseimbangan cairan, elektrolit dan volume darah.
Kehilangan cairan lewat evaporasi: 3 - 5 liter atau lebih selama 24 jam sebelum permukaan kulit luka bakar ditutup.
Respon keseimbangan cairan:
1. Hiponatremia, terjadi:
· Selama syok luka bakar.
· Minggu pertama fase akut, krn: air akan pindah dari ruang interstitial ke intra vaskuler.
2. Hiperkalemia, karena: destruksi sel yang masif.
3. Hipokalemia, karena: berpindahnya cairan dan tidak adekuatnya resusitasi cairan.
4. Anemia, krn: rusaknya atau hancurnya sel-sel darah merah.
Anemia terjadi karena : kehilangan darah, yang bisa dicetuskan oleh:
a. Prosedur pembedahan.
b. Perawatan luka.
c. Pemeriksaan diagnostik.
d. Hemodialisis.
Hematokrit meninggi karena: kehilanagan plasma.
Penatalaksanaan utama: transfusi darah.

Abnormalitas koagulasi pada luka bakar meliputi:
1. Trombositopenia.
2. Masa pembekuan yang memanjang.
3. Waktu protombin memanjang.

v Respon pulmoner
Kategori cedera pulmoner:
1. Cedera saluran nafas atas.
2. Cedera inhalasi di bawah glotis.
3. Keracunan karbon monksida.
4. Defek restriktif.

Cedera saluran nafas atas.
Penyebab: panas langsung atau edema.
Manifestasi : obstruksi mekanis saluran nafas atas ( faring dan laring).
Tindakan : intubasi nasotrakeal atau endotrakeal secara dini.

Cedera inhalasi dibawah glotis.
Penyebab: menghirup hasil pembakaran yang tidak sempurna atau gas berbahaya.
Misal: karbon monoksida, sulfur oksida, amonia, klorin, fosgen, benzena dan halogen.
Manifestasi:
· Hilangnya fungsi cilia.
· Hipersekresi.
· Edema mukosa yang berat.
· Bronkospasme.
Tanda utama: ekspektorasi partikel karbon dalam sputum.
Akibat lanjut: menurunnya zat aktif permukaan (surfaktan ) paru sehingga mengakibatkan: atelektasis paru.

Keracuanan Karbon monoksida.
CO merupakan produk sampingan pembakaran bahan-bahan organik ( terdapat dalam asap).
Efek patofisiologiknya karena: hipoksia jaringan.
Hipoksia jaringan terjadi karena hemoglobin sebagai pengikat O2 cenderung lebih cepat ( 200x lipat ) berikatan dengan CO membentuk karboksihemoglobin daripada dengan O2.
Tindakan terapi:
1. Terapi oksigen 100% ( essensial ).
2. Intubasi dini.
3. Ventilator mekanik.

Defek Restriktif
Penyebab: adanya edema di bawah luka bakar full-thickness yang melingkar pada leher dan thorak.
Akibat yang ditmbulkan: pengembangan dada terhalang tindal volume menurun.
Penanganan: eskarotomi ( insisi untuk melonggarkan parut yang menimbulkan konstriksi).

q Indikator kerusakan paru mencakup:
1. Riwayat yang menunjukkan bahwa luka bakar terjadi dalam suatu daerah tertutup.
2. Luka bakar pada wajah atau leher.
3. Rambut hidung yang gosong.
4. Suara menjadi parau, perubahan suara, batuk kering, stridor, sputum yang penuh jelaga.
5. Sputum berdarah.
6. Pernafasan berat ( takipnea ) dan tanda-tanda penurunan kadar oksigen.
7. Eritem atau pembentukan lepuh pada mukosa oral atau faring.
Pemeriksaan diagnostik yang sering dilakukan untuk mengetahui adanya cedera inhalasi:
1. Px kadar karboksihemoglobin.
2. Px gas darah arterial.
3. Bronkoskopi.
4. Px faal paru; untuk mengetahui penurunan kelenturan paru atau obstruksi aliran udara pernafasan.

Komplikasi pulmoner yang dapat terjadi sekunder akibat cedera inhalasi:
1. Kegagalan akut respirasi.
2. ARDS ( Adult Respiratory Distress Syndrome ).
Tindakan yang dilakukan:
1. Intubasi.
2. Ventilator mekanik.

v Sistem Renal
Volume darah menurun hipoperfusi jaringan ginjal hipofungsi organ ginjal ( penurunan GFR)
Penurunan produksi urine.
Destruksi sel-sel darah merah akan menghasilkan hemoglobin bebas dalam urine.
Destruksi otot akan menyebabkan pelepasan mioglobin dari sel otot dan diekskresi melalui ginjal.
Bila aliran darah melalui tubulus renal tidak memadai maka hemoglobin dan mioglobin bisa menyumbat tubulus renal sehingga timbul komplikasi: nekrosis akut tubuler dan gagal ginjal.

v Pertahanan imunologik.
Luka bakar gangguan integritas kulit + pelepasan faktor-faktor inflamasi abnormal, perubahan kadar imunoglobulin, komplemen serum, gagngguan fungsi neutrofil dan penurunan jumlah limfosit (limfositopenia) resiko tinggi : sepsis.

v Pengaturan suhu tubuh.
Pasien luka bakar mengalami suhu rendah bbrp jam pertama pasca luka bakar, kemudian sebagian besar periode luka bakar akan mengalami hipertermia karena hipermetabolisme meskipun tanpa adanya infeksi.

v Sistem gastrointestinal.
Komplikasi gastrointestinal meliputi:
1. Ileus paralitik.
Manifestasi: berkurangnya peristaltik dan bising usus.
2. Ulkus Curling ( erosi lambung atau duodenum ).
Tanda-tandanya:
a. Distensi lambung, nausea dan vomitus.
b. Adanya darah okulta dalam feces.
c. Regurgitasi muntahan seperti bubuk kopi dari dalam lambung.
d. Vomitus berdarah.
Respon Lokal


Ø Kedalaman luka bakar.
Klasifikasi luka bakar menurut dalamnya:
1. Superficial partial-thickness ( Luka bakar derajat satu)
· Penyebab:
a. Tersengat matahari.
b. Terkena api dengan intensitas rendah.
· Bagian yang terkena: epidermis.
· Gejala:
a. Kesemutan.
b. Hiperestesia ( super sensitivitas ).
c. Rasa nyeri reda jika didinginkan.
· Penampilan luka:
a. Memerah, menjadi putih ketika ditekan.
b. Minimal atau tanpa oedema.
· Perjalanan kesembuhan:
- Kesembuhan lengkap dalam waktu satu minggu.
- Pengelupasan kulit.

2. Deep partial thickness ( Luka bakar derajat dua ).
¨ Penyebab:
a. Tersiram air mendidih.
b. Terbakar oleh nyala api.
¨ Bagian yang terkena: epidermis dan bag dermis.
¨ Gejala:
a. Nyeri.
b. Hiperestesia.
c. Sensitif terhadap udara yang dingin.
¨ Penampilan luka:
a. Melepuh; dasar luka berbintik-bintik merah, epidermis retak dan permukaan luka basah.
b. Edema.
¨ Perjalanan penyembuhan.
- Kesembuhan dalam waktu 2 - 3 minggu.
- Pembentukan parut dan depigmentasi.
- Infeksi dapat merubahnya menjdai derajat tiga.

3. Full thickness ( Luka bakar derjat tiga ).
§ Penyebab :
a. Terbakar nyala api.
b. Terkena cairan mendidih dalam waktu yang lama.
c. Tersengat arus listrik.
§ Bagian yang terkena: epiodermis, keseluruhan dermis dan kadang-kadang jaringan subkutan.
§ Gejala:
a. Tidak terasa nyeri.
b. Syok.
c. Hematuria dan kemungkinan hemolisis.
d. Kemungkinan ada luka masuk dan luka keluar ( luka bakar listrik).
§ Penampilan luka:
a. Keirng, luka bakar berwarna putih seperti bahan kulit atau gososng.
b. Kulit retak dengan bagan lemak yang tampak.
c. Edema.
§ Perjalanan kesembuhan:
- Pembentukan eskar.
- Diperlukan pencangkokan.
- Pembentukan parut, hilangnya kontur dan fungsi kulit, dpt terjadi kehilangan tangan atau ekstrimitas.
q Setiap daerah luka bakar mempunyai 3 zona:
1. Zona koagulasi ( daerah sebelah dalam luka ).
Ciri : mengalami kematian selluler.
2. Zona statis ( daerah bagian tengah luka ).
Ciri :
a. Terjadi gangguan suplai darah.
b. Terjadai inflamasi.
c. Terjadi kerusakan jaringan.
d. Daerah ini masih bisa diselamatkan sampai derajat tertentu dengan resusitasi cairan yang adekuat.
3. Zona Hiperemia ( daerah sebelah luar ).
Ciri :
a. Merupakan luka bakar derajat satu,
b. Harus sudah sembauh dalam waktu satu minggu.
c. Khas pada cedera terbakar atau tersengat arus listrik daripada akibat cairan panas.



Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan dalammnya luka bakar:
1. Riwayat terjadinya luka bakar.
2. Penyebab luka bakar.
3. Suhu agen penyebab luka bakar.
4. Lamanya kontak dengan agen penyebab luka bakar.
5. Tebalnya kulit.

Ø Luas permukaan tubuh yang terbakar.
Metode untuk menetukan luas luka bakar:
1. Rumus Sembilan ( Rules of Nine ).
Dengan : prosentase kelipatan sembilan terhadap permukaan tubuh.
2. Metode Lund and Browder.
Mengakui bahwa prosentase luas luka bakar pada berbagai bagian anatomi, khususnya kepala dan tungkai akan berubah menurut pertumbuhan.
3. Metode telapak tangan ( Palm Method ).
Lebar telapak tangan pasien kurang lebih sebesar 1% luas permukaan tubuhnya.

C. Penatalaksanaan Luka Bakar.
Fase perawatan luka bakar:
1. Fase Resusitasi (Darurat) : dari awitan cedera hingga selesainya resusitasi cairan.
2. Fase Akut: dari dimulainya deuresis hingga hampir selesainya proses penutupan luka.
3. Fase rehabilitasi: dari penutupan luka yang besar hingga kembalinya kepada tingkat penyesuaian fisik dan psikososial yang optimal.

q Perawatan di tempat kejadian.
Prioritas pertama: mencegah agar orang yang menyelamatkan korban tidak turut mengalami luka bakar.
Prosedur emergensi yang harus dilakukan:
1. Mematikan api.
2. Mendinginkan luka bakar.
3. Melepaskan benda penghalang.
Tujuan: untuk melakukan penilaian serta mencegah terjadinya konstriksi sekunder akibat oedema.
4. Menutup luka bakar.
Tujuan:
a. Memperkecil kemungkinan kontaminasi bakteri.
b. Mengurangi nyeri dengan mengurangi mencegah aliran udara agar tidak mengenai permukaan kulit yang terbakar.
5. Memberikan irigasi pada luka bakar kimia.

v Prioritas tindakan pada fase resusitasi:
1. Pertolongan pertama.
2. Pencegahan syok.
3. Pencegahan gangguan pernafasan.
4. Deteksi dan penanganan cedera yang menyertai.
5. Penilaian luka dan perawatan pendahuluan.

Pertolongan pertama:
Prosedur ABC:
· A ( Airway = jalan nafas ), ciptakan patensi jalan nafas.
· B (Breathing= pernafasan)
Terapi segera:
a. Penciptaan saluran nafas yang lapang.
b. Pemberian oksigen 100% yang sudah dilembabkan atau oksigen masker atau nasal kanule.
Korban yang mengalami gangguan pernafasan berat atau edema saluran nafas, tindakan yang dilakukan:
- Memasang pipa endotrakeal.
- Memberi ventilasi manual.
· C ( Circulation=sirkulasi darah ).
Tindakan : monitor denyut apikal dan TD.
Akibat yang sering terjadi bila tidak dilakukan penanganan segera setelah terjadi luka bakar:
a. Takikardia.
b. Hipotensi ringan.

Pencegahan syok:
Tindakan : pemberian infus cairan dan elektrolit segera.
Ø Penatalaksanaan medis darurat
1. Stabilisasi pernafasan dan sirkulasi.
2. Perawatan dan penilaian luka bakr.
3. Pencegahan ilelus paralitik: pemasangan NGT.
4. Pemantauan pengeluaran urine dan faal ginjal: pemasangan kateter.
5. Pemberian profilaksis tetanus.
6. Mengatasi ketidaknyamanan.
7. Dukungan psikososial.
Ø Pemindahan ke unit luka bakar.
Tindakan yang dilakukan sebelum mengirim korban ke unit luka bakar:
1. Selang infus harus terpasang dengan kecepatan tetesan untuk menghasilkan haluaran urine sedikitnya 30 ml per jam.
2. Pastikan saluran nafas paten.
3. Terapi adekuat untuk redakan nyeri.
4. Sirkulasi tiap ekstrimitas yang terbatas harus adekuat.
5. Luka harus ditutup dengan balutan steril yang kering.
6. Jaga kenyamanan dan kehangatan tubuh korban.
7. Catat penilaian dan penanganan pasien.

Ø Kriteria luka bakar untuk dirujuk ke pusat luka bakar:
1. Luka bakar derajat tiga yang melebihi 5% luas permukaan tubuh pada segala usia.
2. Luka bakar derajat dua dan tiga yang melebihi 10% luas permukaan tubuh pada pasien dibawah usia 10 th dan diatas usia 50 th.
3. Luka bakar derajat dua dan tiga yang melebihi 20% luas permukaan tubuh pada segala kelompok uasia yang lain.
4. Luka bakar derajat dua dan tiga yang mengenai muka, tangan, kaki, genetalia, perineum serta persendian yang besar.
5. Luka bakar listrik yang mencakaup luka bakar tersambar petir.
6. Luka bakar kimia dengan ancaman gangguan fungsional atau kosmetik yang serius.
7. Cedra inhalasi dengan luka bakar.
8. Luka bakar yang melingkar pada ekstrimitas dan dada.
9. Luka bakar pada pasien yang sebelumnya sudah menderita sakit yang dapat memperumit penanganan.
10. Luka bakar dengan trauma dimana luka bakar tersebut menghadapi resiko yang terbesar.

Ø Penatalaksanaan kehilanagan cairan dan syok.
Perubahan cairan dan elektrolit pada fase resusitasi dalam perawatan luka bakar:
1. Dehidrasi menyeluruh: karena plasma mengalir keluar ( bocor) lewat pembuluh darah apile ryang rusak.
2. Berkurangnya volume darah; akibat hilangnya plasma, penurunan tekanan darah dan berkurangnya curah jantung.
3. Berkurangnya keluaran urine, terjadi karena:
a. Kehilangan cairan.
b. Penurunan aliran darah renal.
c. Retensi natrium dan air karena peningkatan aktifitas korteks adrenal.
4. Kadar kalium yang berlebiahan, karena: trauma selluler yang masif menyebabkan pelepasan ion K+ ke dalam cairan ekstraseluler.
5. Kadar natrium kurang atau defisit, karena: sejumlah besar ion Na+ hilang dalam cairan edema yang terperangkap dan mengalami eksudasi serta berpindah ke dalam sel ketika ion K+ dilepas dari dalam sel.
6. Asidosis metabolik, karena: kehilangan ion-ion bikarbonat menyertai kehilangan natrium.
7. Hemokonsentrasi ( kenaikan hematokrit), karena: komponen darah yang cair mengalir ke dalam ruang ekstravaskuler.
Penggantian cairan:
Kombinasi kategopri cairan yang digunakan:
1. Cairan koloid; Whoole blood, plasma serta plasma ekspander.
2. Kristaloid/elektrolit: larutan natrium klorida fisiologis atau lart. RL.
· Pedoman dan rumus untuk penggantian cairan pada pasien luk abakar.
1. Rumus Konsensus
Lart RL ( lart saline seimbang lainnya)= 2-4 ml x kg BB x % luas luka bakar.
Separuh diberikan dalam 8 jam pertama, sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya.
2. Rumus Evans.
a. Koloid: 1 ml x kg BB x % luas luka bakar.
b. Elektrolit (salin): 1 ml x kg BB x % luas luka bakar.
c. Glukosa (5% dalam air): 2000 ml untuk kehilangan insensibel.
Hari 1 : separuh diberikan dalam 8 jam pertama, separuh sisanya dalam 16 jam berikutnya.
Hari 2 : Separauh dari cairan elektrolit dan koloid yang diberikan pada hari sebelumnya, seluruh penggantian cairan insensibel.
Maksimum 10.000 ml selama 24 jam. Luka bakar derajat dua dan tiga yang melebihi 50% luas permuakaan tubuh dihitung berdasarkan 50% luas permukaan tubuh.
3. Rumus Brooke Army
a. Koloid: 0,5 ml x kg BB x % luas luka bakar.
b. Elektrolit (lart RL) : 1,5 ML X kg BB x % luas luka bakar.
c. Glukosa (5% dalam air) : 2000 ml untuk kehilangan insensibel.
Hari 1 : Separuh diberikan dalam 8 jam pertama, separuh sisanya dalam 16 jam berikutnya.
Hari 2 : Separuh dari cairan koloid, separuh elektrolit, seluruh penggantian cairan insensibel.
Luka bakar derajat dua dan tiga yang melebihi 50% luas permukaan tubuh dihitung berdasarkan 50% luas permukaan tubuh.
4. Rumus Parkland/Baxter.
Larutan Ringer Laktat : 4 ml x kg BB x % luas luka bakar.
Hari 1: Separuh diberikan dalam 8 jam pertama, separuh diberikan dalam 16 jam berikutnya.
Hari 2 : Bervariasi, ditambahkan koloid.

Larutan Salin Hipertonik.
Larutan pekat natrium klorida ( NaCl ) dan laktat dengan konsentrasi 250-300 mEq natrium per liter yang diberikan pada kecepatan yang cukup untuk mempertahankan volume keluaran urine yang diinginkan. Jangan meningkatkan kecepatan infus selama 8 jam pertama pasca luka bakar. Kadar natrium serum harus dipantau dengan ketat.
Tujuan tindakan ini: meningkatkan kadar natrium serum dan osmolalitas untuk mengurangi edema dan mencegah komplikasi paru.

Mekanisme dasar terapi penggantian cairan adalah: meningkatkan osmolalitas serum, sehingga cairan akan ditarik kembali ke dalam ruang vaskuler dari ruang interstitial.

Contoh penggantian cairan:
Pasien berbobot 70 kg dengan luas luka bakar 50%.
Rumus konsensus: 2 - 4 ml/ kg / % luas luka bakar.
Hitung: 2 x 70 x 50 = 7000 ml/24 jam.
Pemberian infus : 8 jam pertama = 3500 ml atau 437 ml/jam; berikutnya 16 jam = 3500 ml, atau 219 ml/jam.

¨ Tujuan terapi penggantian cairan.
1. Tekanan sistolik yang melebihi 100 mmHg.
2. Frekuensi nadi yang kurang dari 110x/mnt.
3. Keluaran urine sebanyak 30 - 50 ml/jam.
q PROSES KEPERAWATAN
Fase Darurat/Resusiasi.
Pengkajian:
o Tanda-tanda vital.
o Asupan dan keluaran cairan.
Keluaran urine: jumlah, berat jenis, pH, warna, kadar glukosa, aseton, protein serta hemoglobin.
ð Berat badan.
ð Riwayat pra luka bakar.
ð Riwayat alergi.
ð Riwayat imunisasi.
ð Masalah medis masa lalu.
ð Karakter luka bakar.
ð Status neurologi: kesadaran pasien, status fisiolgik, tingkat nyeri, kecemasan, pemahaman pasien tenang keadaan dan perilaku pasien.


Diagnosa keperawatan:
1. Kerusakan pertukaran gas b.d. keracunan CO, inhalasi asap dan obstruksi salran nafas atas.
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d. edema dan efek inhalasi asap, peningkatan ekspektorasi.
3. Kurangnya volume cairan b.d. peningkatan permeabilitas pembuluh darah kapiler dan kehilangan cairan akibat evaporasi dari luka bakar.
4. Penurunan suhu tubuh b.d. gangguan mikrosirkulasi kulit dan luka yang terbuka.
5. Nyeri b.d. cedera jaringan serta saraf.
6. Kecemasan b.d. perbahan status kesehatan.
Perencanaan:
Tujuan :
1. Pemeliharaan saluran nafas yang paten.
2. Ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat.
3. Pencapaian keseimbangan cairan dan elektrolit yang optimal.
4. Pencapaian perfusi organ vital secara optimal.
5. Pemeliharaan suhu tubuh normal.
6. Rasa nyeri bisa diminimalisir.
7. Kecemasan minimal.
8. Tidak adanya komplikasi yang potensial.
Intervensi keperawatan:
1. Meningkatkan pertukaran gas dan bersihan saluran nafas.
a. Monitor frekuensi, kualitas dan kedalaman respirasi.
b. Tindakan perawatan pulmoner:
· Membalik tubuh pasien/mobilisasi.
· Dorong pasien untuk batuk efektif dan nafas dalam.
· Dorong untuk memulai inspirasi kuat yang periodik dengan spirometer.
· Pengisapan trakea untuk mengeluarkan sekret.
· Pengaturan posisi pasien dengan posisi semi fowler/fowler.
· Pemberian oksigen lembab.
· Pemakaian ventilator mekanik.
2. Memulihkan keseimbangan cairan:
a. Memantau tanda vital.
b. Memantau keluaran urine.
c. Memonitor berat badan.
d. Kolaborasi pemeberian cairan melalui infus.
e. Pemantauan kadar elektrolit serum.
3. Mempertahankan suhu tubuh:
a. Atur suhu ruangan 32,2 – 32,80 C.
b. Berikan selimut penghangat/penahan panas.
c. Upayakan untuk memperpendek waktu pemajan terhadap suhu sekitar.
4. Menetralisir nyeri.
a. Pemberian obat analgetik secara intravena.
b. Pemberian obat sedatif.
5. Meredakan kecemasan.
a. Beri dukungan psikososial.
b. Penjelasan secara sederhana tentang prosedur penanganan.
c. Optimalkan penangaan nyeri.
d. Pemberian obat antiansietas.
Kecemasan yang tinggi pada fase darurat luka bakar harus dihindari karena:
1. Kecemasan akan meningkatkan rasa nyeri fisik dan psikologis.
2. Kecemasan yang tinggi lebih lanjut akan meningkatkan stres fisiologik.
Pemantauan kemungkinan komplikasi:
Komplikasi yang potensial terjadi:
1. Gagal nafas akut.
2. Syok sirkulasi.
3. Gagal ginjal akut.
4. Sindrome kompartemen.
5. Ileus paralitik.
6. Tukak Curling.






RENPRA LUKA BAKAR
FASE RESUSITASI



q DP: Kerusakan pertukaran gas b.d. keracunan CO, inhalasi asap dan obstruksi saluran nafas atas.
Sasaran: Pemeliharaan oksigenasi jaringan yang adekuat.
Perencanaan:
1. Berikan oksigen yang dilembabkan.
Rasional: Oksigenasi yang dilembabkan akan memberikan kelembaban jaringan yang cedera, suplementasi oksigen akan meningkatkan oksigenasi alveoli.
2. Kaji bunyi nafas, frekuensi nafas, irama, dalam dan simetrisnya pernafasan.
Rasional: Memberi dasar pengkajian selanjutnya dan bukti peingkatan/penurunan pernafasan.
3. Amati hal-hal: eritema atau lepuh pada mukosa bibir dan pipi, Lubang hidung yang gosong, luka bakar pada muka, leher atau dada, suara parau, adanya jelaga dalam sputum atau jaringan trakea dalam sputm.
Rasional: bukti adanya cedera inhalasi dan resiko disfungsi pernafasan.
4. Pantau hasil px GDS.
Rasional: dasar perlunya pengguanan ventilasi mekanis.
5. Laporkan pernafasan yang berat, penurunan dalam pernafasan dan atau tanda hipoksia.
Rasional: Dasar penetapan intervensi ntuk mengatasi kesulitan pernafasan.
6. Bersiap untuk bantu dokter untuk intubasi dan eskarotomi.
Rasional: Intbasi memungkinan ventilasi mekanik dan eskarotomi memungkinan pengembangan paru optimal.
7. Pantau penggunaan alat ventilator pada pasien.
Rasional: deteksi dini penurunan status respirasi atau komplikasi pada ventilasi mekanik.

Evaluasi:
Hasil yang diharapkan:
a. Tidak ada dispnea.
b. Frekuensi respirasi antara 12 dan 20 kali/menit.
c. Paru bersih pada auskultasi.
d. Saturasi oksigen arteri > 96% dengan oksimetri nadi.
e. Kadar gas darah arteri dalam batas normal.

q DP: Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d. edema, efek inhalasi asap, peningkatan ekspektorasi.
Sasaran: pemeliharaan saluran nafas yang paten dan bersihan saluran nafas adekuat.
Perencanaan:
1. Pertahankan kepatenan jalan nafas melalui pemberian posisi pasien yang tepat, pembuangan sekresi dan jalan nafas artifisial bila perlu.
Rasional: jalan nafas yang paten sangan krusial untuk fungsi respirasi.
2. Berikan oksigen yang sudah dilembabkan.
Rasional: kelembaban akan mengencerkan sekret dan mempermudah ekspektorasi.
3. Dorong pasien agar mau membalikkan tubuh, batuk dan nafas dalam. Anjurkan agar pasien menggunakan spirometri. Tindakan penghisapan jika diperlukan.
Rasional: Aktivitas ini meningkatkan mobilisasi dan pembuangan sekresi.
Evaluasi:
Hasil yang diharapkan:
a. Jalan nafas paten.
b. Sekresi respirasi minimal, tidak berwarna dan encer.
c. Frekuensi respirasi, pola dan bunyi nafas normal.

q DP : Kurang volume cairan b.d. peningkatan permeabilitas kapiler dan kehilangan lewat evaporasi dari luka bakar.
Sasaran: pemulihan keseimbangan cairan dan elektrolit yang optimal dan perfusi organ-organ vital.
Perencanaan:
1. Amati tanda-tanda vital, keluaran urine dan waspada terhadap tanda-tanda hipovolemia atau kelebihan beban cairan.
Rasional: hipovolemia merupakan resiko utama yang segera terdapat sesudah luka bakar. Resusitasi berlebihan dapat menyebabkan kelebihan beban cairan.
2. Pantau keluaran urine sedikitnya setiap jam sekali dan menimbang berat badan pasien setiap hari.
Rasional: Keluaran urine dan berat badan memberikan informasi tentang perfusi renal, kecukupan penggantian cairan dan kebutuhan serta status cairan.
3. Pertahankan pemberian infus dan mengatur tetesannya pada kecepatan yang tepat sesuai dengan program medik.
Rasional: pemberian cairan yang adekuat diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit serta perfusi organ-organ vital adekuat.
4. Amati gejala defisiensi atau kelebihan kadar natrium, kalium, fosfor dan bikarbonat.
Rasional: Perubahan yang cepat pada status cairan dan elektrolit mungkin terjadi dalam periode paska luka bakar.
5. Naikkan bagian kepala tempat tidur pasien dan tinggikan ekstremitas yang terbakar.
Rasional: Meningkatkan aliran balik vena.
6. Beri tahu dokter segera bila terjadi penurunan keluaran urine, tekanan darah, CVP, tekanan arteri pulmonalis, tekanan baji kapiler pulmonalis atau peningkatan frekuensi denyut nadi.
Rasional: Karena terjadinya perpindahan cairan yang cepat pada syok luka bakar, defisit cairan harus dideteksi secara dini sehingga syok sirkulasi tidak terjadi.
Evaluasi:
Hasil yang diharapkan:
a. Kadar elektrolit serum berada dalam keadaan normal.
b. Keluaran urine berkisar antar 0,5 - 1,0 ml/kg/jam.
c. Tekanan darah lebih tinggi dari 90/60 mmHg.
d. Frekuensi jantung kurang dari 120 denyut/menit.
e. Memperlihatkan sensorium yang jernih.
f. Mengeluarkan urine yang jernih dan berwarna kuning dengan berat jenis dalam batas normal.
[...]

Categories: